Bermula dari liburan pondok pesantren. Aku adalah santri yang berasal dari luar jawa, yakni pulau sumatra, pulau yang termasuk pulau-pulau besar di Indonesia. Dan ketika liburan tiba, kami (para santri yang jauh) jarang pulang kampung. Paling-paling bertandang kerumah teman yang sekirannya mau menampung kami, bukan apa-apa, karena sudah bukan rahasia lagi jika para santri itu ga punya duit. Meski ga semuanya, cuma rata-rata.
Beberapa hari lagi liburan akan tiba, para santri sudah mulai sibuk mengemas barang-barang nya. Demikianlah keadaan di pesantren putri meski liburan masih satu minggu lagi. Ada yang mengemas barang, ada yang berencana bersama santri yang lain. Sedang aku hanya diam tanpa ada rencana. Aku hanya berpikir akan bertandang kerumah sekitar pondok dan menjadi abdi ndalem selama hari libur. Tetapi tidak lama kemudian teman ku, Rosyidah namanya, mengajakku untuk menghabiskan liburan di rumahnya yang terletak di sekitaran kota Banyuwangi, tapi agak masuk kedalam. Jadilah aku menghabiskan liburan kali ini di desa yang masih wilayah Banyuwangi itu.
Dari rumahnya lah aku menemukan suatu pelajaran berharga yang mungkin sudah menjadi barang langka di jaman yang menjadikan materi sebagai ukuran. Bagaimana tidak saya bahagia, selain keluarga ini menerima kami dan melayani kami layaknya tamu kehormatan. Awalnya aku pesimis karena aku mengajak adik dan kakak sepupuku yang sama-sama belajar di pesantren. Namun inilah, ternyata keluarga ini menyambut kami dengan baik. Selain kami dengan gratis menaiki mobil sedan mereka yang menantar-jemput kami dari pondok pesantren hingga desa mereka. Keluarga inipun tak membiarkan kami mengerjakan sesuatupun kecuali mencuci pakaian kami sendiri.
Lagi, yang saya garis bawahi adalah keluarga ini mempunyai empat orang anak perempuan, yang nomor satu dan dua telah menikah, sedang yang nomor tiga dan empat masih gadis.Sedang yang nomor empat, dialah yang menjadi teman belajarku di pondok pesantren. Menantu kedua-lah yang mempunyai mobil. Sebagai kelurga yang harmonis mereka akan senantiasa bepergian pada hari sabtu dan minggu dimana sang pemilik mobil libur bekerja. Pada hari itulah semua anggota kelurga terutama kaum hawa dari buyut, nenek, anak dan cucu tak terkecuali kami sebagai tamu'di ajak berlibur atau hanya sekedar jalan-jalan keliling kota. Dapat dibayangkan betapa sedan itu jadi sumpek dan berjejal. Meski demikian kebahagiaan masih terpancar dari setiap wajah, kecuali anak dari kakak tertua yang mulai tidak enak badan, dia menangis dan tidak ingin pergi. Maka acara bepergian pun dibatalkan karena ada satu anggota yang ga ikut.
Dari sinilah tampak betapa eratnya hubungan kekeluargaannya. Jika ada satu dari anggota keluarga yang absen untuk jalan-jalan, maka acara jalan-jalan pasti dibatalkan. Dan ini tidak terjadi sekali, tapi berulang-ulang. Setelah kutanyakan pada Rosyidah, ternyata memang begitu adanya. Jika salah satu dari mereka bahagia, maka kebahagiannya itu milik bersama dan jika satu dari mereka dalam kesusahan, maka kesulitan itu akan mereka rasa bersama. Sungguh kelurga harmonis dengan jalinan yang kuat.
Lebih dari itu, sang bapak dari empat anak yang sudah menunaikan rukun kelima ini, tak akan menjual hasil panen mangga sebelum para tetangga merasakan magga miliknya. Hal ini saya saksikan sendiri, dimana beliau mengutip buah lalu membiarkan mangga sekarung ada di dapur dan membiarkan para tetangga yang meminta dengan datang sendiri kerumahnya atau beliau akan menyuruh putri-putrinya untuk mengantarnya (mangga) pada tetangga yang tidak datang kerumahnya. Setelah merasa para tetangga telah mersakan buah magganya, barulah beliau menjual sisanya. Semoga Allah menerima semua amal baiknya dan melapangkan kuburnya.
Demikianlah kisah liburan dan hikmah empat tahun silam yang masih tetap terpatri dalam hati dan pikiranku tentang indahnya kebersamaan dan manisnya menjual hasil disertai ridlo tetangga.
0 komentar:
Posting Komentar