Mungkin suami saya adalah satu dari sekian banyak orang yang hanya menggantungkan pendapatan dari satu sumber rizki. Apalagi model gaji bulanan, dimana setiap tanggal muda adalah tanggal kebahagiaan yang dinanti-nanti. Tapi bagaimana bila ternyata gaji yang ditunggu tidak datang-datang. Satu hari, dua hari, tiga hari..... bahkan sampai akhir bulan gaji tidak kunjung datang. Lembaran-lembaran yang diharap mampu memenuhi kebutuhan hidup, agar periuk tetap terus mengepul, lembaran itu tak kunjung datang. Gaji tidak diberi.
Aku yakin Allah dengan sifat yang rahman rahimnya akan tetap mengaruniai kami rejeki. Karena rejeki itu sendiri tidak hanya berupa lembaran mata uang yang mampu membeli apa saja, bahkan harga diri sekalipun. kesehatan, adalah nikmat terbesar. Dimana dengan badan yang sehat suamiku masih mampu mengais lembaran uang dari jalan yang lain meski dengan jalan yang tidak mudah, tapi tetap yang halal. Halal adalah tujuan utamanya dalam mencari riski. Bukankah rosul sendiri pernah mengingatkan kita agar menjaga dari memakan makanan yang haram.
Dari Abi Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata, aku mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar (syubhat), kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar, maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Allah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati".
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hari-hari pertama tidaklah begitu berat, semua masih bisa diatasi dengan uang sisa belanja bulan kemaren. Mungkin kalo untuk aku dan suami, hal ini (kekurangan uang) adalah hal yang sangat sering kami alami saat sebelum menikah ( mahasiswa). Kekurangan uang biasa diatasi dengan mudah. Ibarat makan nasi dengan garam saja sudah enak dan mengenyangkan.
Tapi untuk kali ini, sesekali aku tak dapat menahan air mataku yang merembes meski tak banyak (Karena aku mencoba menahannya agar tak diketahui oleh suamiku bahwa aku menangis), Aku takut ia akan merasa sangat bersalah dan sedih atas ketiadaan ini. Bagaimana aku tidak menangis melihat putri kami harus mengganti isi botol susunya dengan air gula. Aku merasa bersalah dan berdosa. Memang sikecil masih minum ASI, Tapi itu saja tak cukup karena ia masih sering menangis. "Maafin umi ya neuk?" demikian pesanku padanya saat memberikan botol susunya yang berisi air gula itu.
Tidak hanya itu beberapa pagi aku tak sanggup membelikan ia kue, untuk sarapan. Karena jika pagi putriku tidak suka nasi dan memang ia sedikit susah makan. Sedangkan aku, yang biasa sarapan pagi harus dengan nasi karena masih menyusui harus menunda sarapan. Aku hanya menghemat agar ada makanan untuk siang dan malam. Tapi dasar memang aku yang sering sakit-sakitan ini tidak sanggup jika pagi tak makan nasi, selama tiga hari akhirnya aksiku harus aku akhiri, karena keesokan malam aku menderita sakit perut hebat.
Meski dalam kondisi demikian, aku masih berfikir bahwa bebanku ini belumlah seberapa. Masih banyak lagi disudut-sudut dunia yang lebih menderita dari kami, bahkan lebih menderita dari apa yang kami alami ini. Kisah ini hanyalah setitik dari beribu dan berjuta kisah pilu saudara-saudara kita digaza.
Biarlah sebulan tanpa gaji ini adalah pembelajaran bagi kami agar dapat lebih mendekat pada-Nya. Mempertajam indra kami untuk melihat sisi lain kehidupan dan lebih membuat hati kami menjadi kian peka atas penderitaan orang-orang yang kurang beruntung.