Suara derap langkah kudengar menaiki tangga menuju lantai dua, dimana aku dan putriku sedang tertidur. Aku tahu itu suara langkah Mas, suamiku.
"Ah Mas sudah naik". Pikirku
Langkah itu semakin keras terdengar, dan aku semakin yakin kalau itu Mas. Pasti Mas akan membuka tirai pintu itu dan akan tersenyum melihat aku dan buah hati kami sedang tertidur pulas. Senyum damai seorang ayah. Tapi sayang langkah itu terhenti sejenak di ruang kerjanya. Usai utak-atik komputernya, benar.... dia sambangi kami, orang-orang tercintanya. Kurasakan suaranya halus hampir mendekati telingaku
"Maa...... Ayah baru pulang, nih ada jeruk sebiji........"
Aku tersenyum melihatnya begitu semangat merogoh sebuah jeruk yang ia bawa dari tempat ia kerja. Aku bangun dan ingin mengambil jeruk itu. "Ah............." aku bermimpi! Ternyata kebahagiaan yang baru saja kurasakan hanya mimpi, akan tetapi terasa begitu nyata. Kenapa aku bisa berhalusinasi?
Aku bangkit dan segera mengusap wajah. Kupandangi jam dinding. Pukul 23.06 WIB. Aku mendesah. "Kok mimpi kayak gini!" Pikirku, padahal kejadian-kejadian mesra seperti ini tidaklah asing bagiku. Karena hampir setiap saat Mas senantiasa memberiku kejutan-kejutan kebahagiaan yang selalu membuat aku merasa sebagai orang yang paling ia cinta. Aku terpekur! Tetesan hangat mengelus pipiku perlahan, begitu lembut. Aku menangis, Yach........aku menangis.
Usia pernikahanku belumlah genap dua tahun, sembilan hari lagi! Ya...ulang tahun perkawinanku sembilan hari lagi memasuki angka kedua. Aku bahagia sekali. Aku telah mempersiapkan sesuatu untuk hari jadi itu. Bukan pesta layaknya orang-orang kaya. Aku hanya ingin merayakannya berdua saja! Mungkin bergurau dengan memutar ulang rekaman kebahagiaan kami pada awal-awal pernikahan untuk kemudian saling mengoreksi kekurangan diri masing-masing.
Tapi entahlah.......... menjelang angka ke-2 itu aku merasakan hal-hal aneh sedang menimpa hubunganku dengan Mas. Beberapa minggu yang lalu ia mulai meninggalkan kopi yang aku seduh, sengaja atau lupa, Mas meninggalkan kebiasaanya minum kopiku. Kemudian berubah lagi, sibuk dengan game-game onlainnnya. Dan kali ini ia tampak sibuk sekali dengan pekerjaanya. Mungkin aku yang terlalu berlebihan, bukankah kesibukannya dalam bekerja adalah untuk aku dan putriku.
Aku terus menimbang-nimbang apa kesalahanku? Seandainya akun tanya para istri-istri, "hal apakah yang paling diinginkan seorang istri atas suaminya?" Mungkin jawabannya akan serupa denganku "Selalu ada dan dekat! Disaat-saat waktu luangnya senantiasa bercengkrama dengan istri dan anak-anak."
Sejenak anganku melayang, apa memang seperti ini rasanya...... jika sang suami hanya sibuk dengan pekerjaanya. Dia ada hanya saat makan dan tidur, tak lebih dari itu. Kalau memang sesepi ini?, pantas saja kalau di sinetron-sinetron itu sang istri mencari-cari kesibukan agar tidak jenuh berada dirumah yang nota bene begitu-begitu saja dan itu-itu saja. Ah......... aku ngelantur!
"Astaghfirullahal adhim" Sesegera mungkin kubuang jauh-jauh pikiran buruk itu. Aku tak ingin terpuruk dalam keadaan yang sudah gamang ini.
Entah cintanya mulai pudar atau aku yang menuntut terlalu berlebihan sehingga selalu merasa kekurangan. Aku juga tak mengerti atau hal ini lumrah dalam sebuah perkawinan? Atau mungkin aku yang belum mampu adaptasi sepenuhnya dengan keadaan suamiku dan pekerjaanya? atau perbedaan prinsip yang membuat semua ini terjadi? Entahlah......................... tetesan hangat kembali menyapu pipi ini. "Sudahlah......... aku juga tak berhak membatasi apa-apa yang membuatnya bahagia. Maafkan aku Mas????????? Aku yang selalu merasa kekurangan dan tak sempurna untukmu.
Dengan begini, aku mulai sadar. Bahwa menjadi seorang Khodijah, seorang Fathimah, Seorang Asyiah ataupun Aisyah, sangatlah tidak mudah. Terlalu mahal! Karena aku tak cukup memiliki uang-uang keiklasan untuk membelinya. Aku hanyalah perempuan yang sangat biasa dan tak memiliki keistimewaan apapun, terlalu banyak menuntut hingga membuatmu kelelahan dengan segala keinginanku.
Yang Menyayangimu: Istrimu
0 komentar:
Posting Komentar