Seminggu, dua minggu dan sebulan berlalu, bapak masih belum pulang juga. Aku sudah demikian khawatir, mengapa bapak belum pulang. Lebih-lebih ibu, beliu nampak begitu cemas. Pernah diminggu pertama setelah kepergian bapak ibu menanyakan kabar bapak ke pak Marni, teman mbalok bapak. Katanya; mereka pulang sama-sama. Kemudian dipersimpangan bapak pamit ada urusan sebentar, beliau menyarankan agar pak Marni dan Dakir pulang lebih dulu.
Setengah tahun sejak kepergian bapak, rasanya kedamaian dan kebahagian mulai terkikis. Saat aku tahu bahwa orang-orang yang datang kerumah adalah orang-orang yang meminta uang mereka kembali. Dan itu adalah hutang bapak. Rasanya tak tega melihat ibu berjuang sendiri dalam menghidupi empat orang anaknya bersama himpitan hutang yang tidak sedikit. Tapi, lagi-lagi aku tak dapat berbuat apa-apa selain menjaga adikku yang masih kecil, Sedang ibu gigih bekerja. Selain menggarap sawah sendiri, beliau bersedia menjadi buruh PT kelapa sawit yang gajinya sangat rendah. Karenanya, pukul 03.00 dini hari ibu sudah selesai memasak dan bersiap pergi keperempatan jalan untuk menunggu mobil truk yang akan mengangkut para buruh yang mayoritasnya adalah kaum perempuan itu.
************
Biasanya pukul 18.00 ibu sudah sampai dirumah. Kadang saja di sela-sela istirahatnya, ibu masih sempat merajut benang wol untuk dijadikan taplak meja ataupun bunga-bunga, sesuai dengan pesanan orang-orang sekitar. Entahlah.... tak terbayangkan bagaimana lelahnya ibu, aku hanya mendesah nafas membayangkan semuanya.
Hari hampir hilang. Mega menguning emas di ufuk barat, menandakan waktu magrib sebentar akan tiba. Tapi tak ada tanda-tanda ibu pulang, karena belum terdengar suara truk meraung-raung di jalan becek berlumpur di jalan desa. aku mulai resah.
" Mbak!?"
"Kenapa Fif?" Ternyata adik-adikku mulai resah juga.
" Ibu kok belum pulang ya mbak? jangan-jangan ibu juga pergi ninggalin kita, kayak bapak?"
Ya Allah, seketika sudut mataku basah. Secepat kilat kuhapus agar tak meninggalkan kesan sedih dimata adik-adikku yang lucu dan lugu.
" Ngga Fif, ibu pasti pulang kok. Mungkin ibu masih dijalan sayang." Hiburku
Ku usap-usap rambutnya dengan mengajaknya bicara tentang berbagai hal yang indah. Harapanku; agar ia tak terlalu memikirkan kepulangan ibu, biarlah aku yang memikirkannya. Rasanya tak ingin gadis kecil yang lucu ini jadi murung karena masalah kehidupan yang rumit.
Jam di dinding telah menunjuk angka sembilan malam. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. Sedang ketiga adikku telah terlelap dalam mimpinya masing-masing, Dunia mimpi yang penuh keindahan dan spontanitas kemudahan. Ahh... seandainya saja waktu dapat diputar ulang, maka tak akan aku izinkan bapak pergi mbalok. Pikiranku makin tidak karuan. Entahlah...... aku pasrah saja. dalam kerancuan fikir itu, ku dengar derap langkah di sekitar rumah hingga berhenti didepan pintu.
"Assalam alaikum...."
"Ibuuuuuuuuu!!!!!!!"
Aku terus menghambur menuju pintu depan saat kukenali bahwa itu adalah suara ibu. Aku bahagia, penantianku selesai sudah. Sayang adik-adik sudah tidur, pasti mereka akan terlihat begitu riang jika mengetahui kedatangan ibu. Cukuplah kami kehilangan bapak, dengan ibu kami masih tegar menjalani hari.
####
Hari hampir hilang. Mega menguning emas di ufuk barat, menandakan waktu magrib sebentar akan tiba. Tapi tak ada tanda-tanda ibu pulang, karena belum terdengar suara truk meraung-raung di jalan becek berlumpur di jalan desa. aku mulai resah.
" Mbak!?"
"Kenapa Fif?" Ternyata adik-adikku mulai resah juga.
" Ibu kok belum pulang ya mbak? jangan-jangan ibu juga pergi ninggalin kita, kayak bapak?"
Ya Allah, seketika sudut mataku basah. Secepat kilat kuhapus agar tak meninggalkan kesan sedih dimata adik-adikku yang lucu dan lugu.
" Ngga Fif, ibu pasti pulang kok. Mungkin ibu masih dijalan sayang." Hiburku
Ku usap-usap rambutnya dengan mengajaknya bicara tentang berbagai hal yang indah. Harapanku; agar ia tak terlalu memikirkan kepulangan ibu, biarlah aku yang memikirkannya. Rasanya tak ingin gadis kecil yang lucu ini jadi murung karena masalah kehidupan yang rumit.
Jam di dinding telah menunjuk angka sembilan malam. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. Sedang ketiga adikku telah terlelap dalam mimpinya masing-masing, Dunia mimpi yang penuh keindahan dan spontanitas kemudahan. Ahh... seandainya saja waktu dapat diputar ulang, maka tak akan aku izinkan bapak pergi mbalok. Pikiranku makin tidak karuan. Entahlah...... aku pasrah saja. dalam kerancuan fikir itu, ku dengar derap langkah di sekitar rumah hingga berhenti didepan pintu.
"Assalam alaikum...."
"Ibuuuuuuuuu!!!!!!!"
Aku terus menghambur menuju pintu depan saat kukenali bahwa itu adalah suara ibu. Aku bahagia, penantianku selesai sudah. Sayang adik-adik sudah tidur, pasti mereka akan terlihat begitu riang jika mengetahui kedatangan ibu. Cukuplah kami kehilangan bapak, dengan ibu kami masih tegar menjalani hari.
Tamat
####
wong telu: tiga orang
mbawon : buruh memanen hasil tanian dengan upah yang disepakati
0 komentar:
Posting Komentar