Yang Pernah Hilang
,


Jelita Maharani adalah namaku. Nama pemberian orang tuaku. Nama yang begitu indah menurutku dan kebanyakan orang. Aku gadis berusia tujuh belas tahun, sedang menempuh jenjang pendidikan ditingkat menengah.

Bintang kelas,optimis, dikerumuni banyak teman adalah impianku diawal-awal aku masuk sekolah menengah. Namun, dipertengahan tahun kedua, impianku berubah; berubah menjadi kenyataan. Meskipun aku adalah gadis miskin yang harus sampai kesekolah dengan mengayuh sepeda sepanjang tujuh kilometer. Akan tetapi, semua itu tidak pernah menyurutkan semangatku dalam belajar. Karena aku yakin hanya dengan belajar sungguh-sungguh, kelak kehidupanku akan lebih baik.

Karena rumahku sangat jauh, maka aku harus menempat dirumah salah satu paman dari ayahku. Aku senang, mereka begitu menyayangiku. Bahkan dari wujud sayang mereka aku diperkenalkan dengan seorang pemuda, dia sangat dewasa menurutku, berperawakan tinggi dan telah mandiri. Aku senang berkenalan dengannya.

Dua bulan kemudian semua berubah. Aku merasakan masa depanku gelap tak seindah hari yang telah kulalui dan akan berakhir cemerlang seperti yang ada dalam imajinasiku selama ini. Semangatku yang membara kini redup dan nyaris mati. Seperti matinya api yang tersiram air, semua itu terjadi setelah aku tahu bahwa pmuda yang aku tahu bernama Ahmad adalah calon suamiku yang akan menikahiku enam bulam yang akan datang. Ah...duniaku benar-benar hilang.

Sejak itulah kedatanganku ke sekolah disesalkan teman-temanku. Aku yang periang dan bintang kelas, hanya datang untuk membuat gaduh dengan macam tingkah-polah yang kubuat-buat. Jika tidak, maka aku akan tertidur disetiap jam pelajaran. Perubahan yang drastis terjadi padaku membuat wali kelas kami geleng-geleng kepala.

Aku merasa semua hal telah berubah, juga teman-temanku. Mereka mulai memandang aneh kepadaku. Padahal........peristiwa ini tak pernah terbersit dihati ini, walau sedetik. Tapi, ah...

Sejak pertunangan itu, tak seorang pun dari mereka yang bersedia masuk dalam permasalanku atau hanya untuk sekedar mendengar jeritan hatiku. Yah... sebuah permasalahan yang begitu rumit dan sulit bagi gadis remaja seumuranku. Aku semakin terpuruk. Bayangan yang masa depanku yang cerah seakan mulai mengabur dan semakin sulit untuk kugapai. Ah... aku mendesah panjang.

Dalam keterpurukan itu, aku duduk disudut ruangan kantin sekolah. aku benamkan kepala diantara kakiku. Ingin rasanya aku menghilang, seperti posisi kepalaku saat ini. Biar hening. Tiba-tiba terdengar suara memanggilku "Jelita..."
Aku tak segera mengangkat kepalaku. Sekali lagi ia memanggil namaku, lebih jelas. "Jelita...."
Oh.. itu suara yang begitu kukenal. Suara itu pernah akrab beberapa bulan yang lalu. Namun, akhir-akhir ini kami nyaris tak pernah bertegur sapa, kami sama-sama egois.
"oh.. kamu gus! ada apa? tumben?" Sahutku tanpa berekspresi.
Kemudian kami larut dalam dialog, layaknya dua shabat lama yang bertemu stelah puluhan tahun berpisah. Ternyata ia tahu tentang masalahku, pertunanganku yang tak pernah aku inginkan. Oleh karenanya ia beranikan diri untuk bertanya lansung kepadaku.
"Ta, aku ga percaya, kamu ga tunanganka?!"
Aku tetap diam. Kembali kubenamkan kepalaku, kurasakan beban berat baru saja menimpa kepalaku. Dan aku masih diam.
"Ta..." Agus menyentuh pundakku.
"Kamu hatus tahu! kalo aku ga pengen kehilangan kamu, aku ga mau kamu nikah duluan, sumpah ! aku ga pengen ini terjadi!"
Agus berkata penuh antusias. Entahlah... aku tak dapat memeknainya. Tapi aku tahu, bahwa sorot matanya benar-benar tak mengizinkan aku meninggalkannya sendiri. Hingga akhirnya aku berjanji takkan meninggalkanya sendiri.

Pada hari itulah ia membantuku memeluk, mendekap harapan dan semangatku yang hendak lari meninggalkanku. Aku benar-benar tersulut, semangatku berkobar kembali. Aku kembali seperti semula. Penuh percaya diri dan optimis dalam melangkahi hari-hari. Dalam hatiku berbisik "takkan kubiarkan pertungan ini menghambat cita-citaku, akan kulawan dengan kekuatan cinta, demi cita-citaku."

Begitulah Agus yang kukenal egois dan sok jagoan, ternyata mampu membantuku untuk bangkit menyongsong masa depan yang aku idam-idamkan. Terima kasih Agus atas motivasi yang engkau berikan, walau semua itu tak pernah kau sadari.

Kini sang Jelita Maharani telah menyelesaikan program SI Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di STAIDA Banyuwangi dengan IP 3,20.

Memory 2003



0 komentar: